Keadilan Sahabat; Pandangan Sunni dan Syi'ah

SQ Blog - Kata ‘adalah (عدلة) berasal dari kata al-‘adl (العدل) yang berarti keadilan.[1] Secara etimologis kata ini bermakna sesuatu yang menjadikan seseorang benar atau baik, yaitu lawan dari buruk. Orang yang al-‘adl berarti orang yang diterima kesaksiannya dan menilainya secara positif. Secara terminologis, kata al-‘adl bermakna orang yang tidak memiliki sifat yang bisa mencacatkan atau bahkan merusak keagamaan dan kepribadiannya, sehingga khabar dan kesaksiaannya bisa diterima.[2] Kriteria sifat adil seorang sahabat diindikasikan bahwa mereka seorang muslim, baligh, berakal, tidak syaz, teguh, setia, memiliki ingatan kuat, dhabit, tidak pernah berbuat dosa besar, dan tidak sering berbuat dosa kecil. Di antara persoalan krusial yang masih terus diperdebatkan antara kelompok ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dan Syi’ah di seputar sistem periwayatan adalah konsep keadilan sahabat dan kemaksuman imam.

Pandangan para ‘ulama tentang keadilan sahabat agaknya bisa dibagi menjadi dua pandangan. Pertama, seluruh sahabat Nabi Muhammad Saw bersifat adil (الصحابة كلهم عدول), baik yang mengalami masa terjadinya fitnah atau tidak. Pandangan ini didukung oleh mayoritas ‘ulama Ahlussunnah wa al-Jama’ah.30 Sementara kedua, bahwa tidak semua sahabat nabi Muhammad Saw bersifat adil, sehingga sahabat dibagi menjadi dua, sahabat yang adil atau sahabat istimewa, dan sahabat yang tidak bersifat adil atau sahabat yang memiliki watak yang bervariasi yang hanya Allah SWT semata yang mengetahuinya. Jadi, tidak semua sahabat bersifat adil secara mutlak, dan tidak berarti mereka tidak bisa dikritik. Pandangan ini dipegang oleh mayoritas ‘ulama Syi‘ah Imamiyah.[3] Sementara kaum Mu’tazilah meyakini pula pandangan Syi‘ah Imamiyah ini. Bagi kaum Mu’tazilah, orang yang turut serta dalam pembunuhan atas diri ‘Alî bin Abî Thâlib secara sadar disebut fasik. Berdasarkan konsep ini, berarti kaum Mu’tazilah meyakini bahwa tidak semua sahabat nabi Muhammad Saw bersifat adil.

Pandangan Sunni Mengenai Keadilan Sahabat

Jumhur ulama Sunni telah berketetapan bahwa “الصحابة كلهم عدول”. Jadi menurut pandangan mayoritas ulama Sunni, semua sahabat tanpa kecuali berpredikat adil, baik yang berstatus sahabt senior maupun yunior, serta yang terlibat dalam perang saudara antara Ali dan Muawiyah ataupun tidak.[4] Dalam konteks ini, Abu Zur’ah al-Razy (w. 264 H) menyatakan, “Barang siapa yang mencela salah seorang sahabat nabi Saw, maka ketahuilah bahwa dia termasuk orang zindiq.”

Menurut Ibn Hajar, tidak ada yang berselisih pendapat tentang hal ini kecuali segelintir orang yang disebutnya ahli bid’ah, maka wajib bagi muslimin untuk menyakini sikap sahabat tersebut karena telah ditetapkan bahwa seluruh sahabat adalah ahli surga, tak seorang pun dari mereka yang akan masuk neraka.[5] Dalam konteks ini yang dimaksud sahabat adalah setiap sahabat dalam pengertian yang telah disebutkan pada penjelasan sebelumnya di atas.

Penilaian bahwa semua sahabat adalah adil menurut pandangan Sunni merupakan tazkiyah (rekomendasi) langsung dari Allah dan Rasuln-Nya. Di samping sudah merupakan ijam’ (konsensus) ulama ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dan diterima secara rasional. Berikut dalil-dalil yang mengukuhkan keadilan sahabat (‘adalah al-sahabah):

Dalil-dalil ‘Adalah al-Shohabah dalam al-Quran
  • Q.S. al-Baqarah Ayat 143
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ﴿ سورة البقرة: ١٤٣﴾

Artinya: “Demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 143)

Al-Thabari menyebutkan ulama-ulama terdahulu, seperti Abu Said al-Khudri, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Mujahid, Qatadah; berpendapat bahwa kata wasathan (وسطا) sebagai udul. Namun, sebagian ulama menyanggahnya bahwa ini tidak sesuai dengan makna udul seperti yang dipahami dalam periwayatan Hadis. Alasan mereka bahwa kata wasathan (وسطا) ditujukan kepada umat nabi Muhammad Saw karena berdiri di atas dua posisi ekstrem, yaitu tidak berlebihan dalam agamanya (li tawassuthim fi al-din). Artinya, tidak berlebihan seperti keimanan Kristen terhadap Yesus, tidak juga kurang ideal seperti Yahudi, karena merubah kitab Allah dan membunuh nabi mereka.[6]
  • Q.S. al-Imran Ayat 110
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ ﴿ سورة ال عمران: ١١٠﴾

Artinya; “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Q.S. Al-Imran [3]: 110)

Menurut Al-Khatib, meskipun redaksi ayat ini bersifat umum, makna yang dikandungnya bersifat khusus, yakni para sahabat dan bukan yang lainnya. Imam Jalaluddin Al-Suyuti memberikan penjelasan senada bahwa ayat ini berhubungan dengan orang-orang yang ada saat itu, yakni para sahabat. Sementara menurut riwayat yang bersumber dari Ibn Abbas, yang di maksud umat terbaik adalah para sahabat yang hijrah bersama nabi Saw dari Mekkah ke Madinah, ataupun pengikut perang Badar dan pristiwa Hudaibiyah.[7]
  • Q.S. al-Fath Ayat 18
لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا ﴿ سورة الفتح: ١٨﴾

Artinya; “Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, Maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi Balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (Q.S. Al-Imran [48]: 18)
  • Q.S. al-Taubah Ayat 100
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ ﴿ سورة التوبة: ١٠٠﴾

Artinya; “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (Q.S. Al-Imran [9]: 110)

Dalil-dalil ‘Adalah Al-Shohabah dalam Hadis
  • H.R. Imam Muslim
عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ. ﴿رواه مسلم﴾

Artinya; “Dari Abu Shalih dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda: 'Janganlah kalian mencaci maki para sahabatku! Janganlah kalian mencaci maki para sahabatku! Demi Dzat yang jiwaku ditangan-Nya, seandainya seseorang menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, maka ia tidak akan dapat menandingi satu mud atau setengahnya dari apa yang telah diinfakkan para sahabatku.”[8] (H.R. Imam Muslim)

Dalam hadis di atas, nabi Saw melarang umatnya untuk mencaci-maki para sahabat karena mereka mempunyai kedudukan yang sangat tinggi. Ditilik dari segi asbab al-wurudnya, Hadis di atas berkaitan dengan kasus petengkaran antara Khalid ibn al-Walid dan Abdul al-Rahman ibn Auf. Dalam pertengkaran itu Khalid ibn al-Walid telah mencaci-maki Abdul Rahman ibn Auf sehingga nabi Saw menegur Khalid dengan sabdanya itu. Larangan untuk mencaci-maki para sahabat itu kemudian dipahami oleh kalangan ahli Hadis bahwa mereka semaunya adil.[9]
  • H.R. Imam Al-Bukhari
حَدَّثَنَا أَبُو جَمْرَةَ قَالَ : سَمِعْتُ زَهْدَمَ بْنَ مُضَرِّبٍ قَالَ : سَمِعْتُ عِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرُكُمْ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ. ﴿رواه البخاري﴾

Artinya; “Dari Abu Jamrah berkata, aku mendengar Zahdam bin Mudharrib berkata; aku mendengar 'Imran bin Hushain radliallahu 'anhuma berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: ‘Sebaik-baik kalian adalah yang hidup pada zamanku (generasiku) kemudian orang-orang yang datang setelah mereka kemudian orang-orang yang datang setelah mereka’.” [10] (H.R. Imam Al-Bukhari)

Hadis tersebut menjelaskan bahwa generasi umat Islam yang terbaik ialah generasi Nabi Saw kemudian generasi berikutnya dan kemudian generasi berikutnya lagi. Dalam hal ini, yang dikemukakan oleh Nabi adalah generasi dan bukan individu-individu. Ini berarti, bahwa pada umumnya umat Islam yang hidup pada zaman Nabi, yakni para sahabat Nabi, adalah orangorang yang lebih baik kualitasnya pribadinya bila dibandingkan dengan orang-orang Islam pada zaman berikutnya.

Demikianlah beberapa dalil mengenai ‘adalah al-shahabah yang menjadi pandangan ulama Sunni. Ini telah menjadi ijma’ ulama Sunni. Ibn al-Shalah dan Ibn Abdul al-Barr mengungkapkan bahwa umat Islam telah berijmak untuk memberikan penilaian adil kepada seluruh sahabat, termasuk mereka yang terlibat dalam perang saudara, yaitu perang Jamal dan perang Siffin. Namun perlu dipahami bahwa kriteria keadilan bagi periwayatan Hadis sendiri jelas tidak mensyaratkan status ishmah dari seluruh perbuatan maksiat. Itu sebabnya, tidak benar asumsi Abu Rayyah bahwa dengan doktrin keadilan sahabat itu berarti jumhur ulama Sunni telah menempatkan seluruh sahabat dalam posisi maksum.[11] Dengan demikian, konsep keadilan sahabat (‘adalah al-shahabah) menuntut ahl al-Sunnah wa al-Jamaah tidak dimaksudkan untuk menempatkan status ‘ishmah (terpelihara dari dosa) dan kemustahilan mereka untuk berbuat maksiat. Akan tetapi, maksud adanya bahwa periwayatan mereka dapat diterima tanpa harus meneliti sebab-sebab keadilannya.[12]

Sungguhpun demikian, pandangan di atas tidak sunyi dari beberapa kritikan. Di antaranya, Arifuddin Ahmad yang menyatakan bahwa keempat ayat yang dijadikan oleh ulama sebagai argumen tentang keadilan semua sahabat Nabi merupakan argumen yang kurang tepat. Sebab, tiga ayat tersebut bersifat, yaitu surah al-Baqarah ayat 143; surah Ali Imran ayat 110; dan surah al-Fath ayat 29, bukan hanya berlaku bagi sahabat Nabi. Adapun surah Al-Fath ayat 18 secara literal bersifat khusus. Kekhususan ayat ini tidak mencakup keseluruhan sahabat Nabi, tetapi hanya ditujukan kepada sahabat Nabi yang mengikuti peristiwa Bay’ah al-Ridwan, sedangkan para sahabat nabi yang masuk Islam setelah peristiwa itu tidak termasuk di dalamnya.[13] Senada dengan kritikan tersebut, M. Syuhudi Ismail mengatakan bahwa ayat-ayat yang menjadi dalil keadilan sahabat itu tidak dapat dijadikan argumentasi tentang keadilan setiap individu sahabat. Dalil-dalil itu masing-masing mempunyai maksud. Jadi, bukan hanya ditujukan untuk sahabat Nabi saja.[14] Sementara ijma` ulama tentang keadilan seluruh sahabat, menurutnya bukanlah ijma keseluruhan ulama, karena ada juga ulama mengemukakan argumen-argumen mengenai keadilan sahabat.

Penolakan semacam ini tidak dipungkiri oleh Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, karenanya ia menuliskan dalam bukunya, Ushul al-Hadis, bahwa ayat-ayat yang menegaskan akan keadilan para sahabat nabi Saw, yang tidak mengandung kemungkinan ta’wil dan dhan. Akan tetapi, nafsu yang diikuti kadang-kadang mendorong pemiliknya untuk mengingkari kebenaran, meski kebenaran itu tampak seperti matahari di siang bolong.[15]

Pandangan Syi’ah Mengenai Keadilan Sahabat

Bersebrangan dengan pandangan jumhur ulama Sunni, kelompok Syi’ah khusunya Syi’ah Rafidhah menilai bahwa hampir seluruh sahabat telah kafir, kecuali hanya menyisakan tujuh belas orang sahabat. Hanya saja, sekte Syi’ah Imamiyyah (Itsna Asyariyyah) berpendirian lain bahwa para sahabat seperti halnya manusia lainnya. Sebagiannya merupakan orang-orang yang diakui keadilannya. Sebagian lainnya adalah para pembangkang, orang-orang munafik, dan ahli-ahli maksiat. Sebagian lainnya merupakan orang-orang yang hal-ihwalnya tidak diketahui. Kelompok Syi’ah Imamiyyah lebih lanjut menolak dengan tegas pandangan kaum Sunni yang menyatakan bahwa seluruh sahabat berpredikat adil (الصحابة كلهم عدول).[16] Bagi kelompok Syi’ah Imamiyyah, tidak semua sahabat nabi Muhammad Saw memiliki sifat adil, karena sifat adil mempunyai syarat-syarat syar’i dan sifat-sifat tertentu. Siapa saja yang memiliki syarat-syarat dan sifat tersebut, maka ia bisa disebut sebagai orang yang adil. Sebaliknya, bagi siapa yang tidak memilikinya, maka ia bukan orang yang adil.

Beranjak dari hal tersebut, Syi’ah Imamiyyah membuat lima rukun sebagai ukuran dalam menentukan kedudukan, keistimewaan, dan keadilan seorang sahabat. Kelima rukun yang dimaksud ialah: pertama, kekerabatan dan keturunan suci nabi Muhammad Saw; kedua, yang lebih dahulu menyatakan keimanan; ketiga, tingkat ketakwaan; keempat, tingkat keilmuan; kelima, mereka yang mengakui kekhilafahan atas orang yang ditunjuk oleh Rasulullah Saw sebagai pemimpin syar’i pengganti nabi Muhammad Saw tanpa disertai rasa benci dan terpaksa.[17]

Ahmad Husein Ya’qub, seorang ulama Syi’ah Imamiyyah, ada empat hal yang menimbulkan kebatilan dari pernyataan (الصحابة كلهم عدول), yaitu karena pendapat tersebut bertentangan dengan nash-nash al-Quran yang qath’i, bertentangan dengan Hadis-hadis Nabi Muhammad Saw, tidak adanya kesesuaian antara pendapat yang dimaksud dengan kenyataan yang berlaku, dan pernyataan tersebut bertentangan dengan ruh Islam secara umum dari aspek kekhusnul khatimahan dan tujuan hidup seseorang.[18] Respon sekilas bahasan ini akan disebutkan pada beberapa poin dalam bahasan berikutnya.

ENDNOTE

[1] Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab (Beirut: Darr al-Sadr, tt), Cet. I, Juz XI, h. 430.
[2] Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul Hadis (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), Cet. IV, h. 233.
[3] Sayyid Abd. Al-Rahim al-Musawi, Nazhariyyah ‘Adilah al-Shahabah (Qom: Markaz al-Thaba’ah wa al-Nasyr li al-Majmu’ al-‘Alami li Ahl al-Bait, 1422 H), h. 40.
[4] Akram Dliya al-Umariy, Al-Mujtama al-Madaniy fi ahd al-Nubuwah; al-Jihad Dzidd al-Musyrikin (t.t. t.p.: 1404 H/1984 M), h. 5-6.
[5] Ibn Hajar Al-‘Asqalani, Al-Ishabah fi Tamyis al-Shahabah (Beirut: t.p.: 1992), h. 20.
[6] Kamaruddin Amin, Metode Kritik Hadis (Jakarta: Mizan, 2009), Cet. I, h. 50.
[7] Saefuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dam Historiografi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), Cet. I, h. 285-286.
[8] Muslim, Shahih Muslim (Beirut: Darr al-Jil, tt), Juz VII, h. 188
[9] Akram Dliya al-Umariy, Al-Mujtama al-Madaniy fi ahd al-Nubuwah; al-Jihad Dzidd al-Musyrikin (t.t: t.p., 1404 H/1984 M), h. 5-6
[10] Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari (Kairo: Darr al-Sya’ab, 1407 H/1987 M), Cet. I, Juz III, h. 224.
[11] Mahmud Abu Rayyah, Adlwa al Sunnah al-Muhammadiyyah au difa’ an al-Hadis (Mesir: Darr al-Ma’arif, t.t), h. 353
[12] Muh. Alwi al-Malikiy, Al-Manhal al-Lathif fi Ushul al-Hadis al-Syarif (Jeddah, Maktabah Sahr, 1990), h. 185, dikutip oleh Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), Cet. I, h. 284-285
[13] Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi Refleksi Pemikiran Pembaruan M. Syuhudi Ismail (Jakarta: MSCC, 2005), Edisi II, h. 82.
[14] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan Dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995), Cet. II, h. 167.
[15] Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul Hadis terj. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), Cet. IV, h. 381.
[16] Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), Cet. I, h. 289.
[17] Ahmad Husein Ya’qub, Nazhariyyah ‘Adalah  al-Shahabah (Qom:  Ansariyyan  Publication, 1996),  h. 11.
[18] Ahmad Husein Ya’qub, Nazhariyyah ‘Adalah  al-Shahabah (Qom:  Ansariyyan  Publication, 1996), h. 38-60.

Baca Juga:
> Pengertian sahabat 
> Stratifikasi dan cara mengetahui sahabat 
> Kritik sejumlah intelektual Islam terhadap keadilan sahabat dan jawabannya 
> Jumlah dan peranan sahabat dalam meriwayatkan hadis
 

Keadilan Sahabat, Keadilan Sahabat pandangan Sunni, Keadilan Sahabat pandangan syi'ah, Sahabat menurut Sunni, Sahabat menurut Syi'ah

Labels:

Posting Komentar

[blogger][facebook]

SQ Blog

{picture#https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEimSap9ccYY8FQp44yNvjVK6lRtOVpD-gpVKKWSk__oyc8ChkbooHIuh52uDXiZGchcOoPlIazgMEjOjQ5r0b-DftM48h8gDub2yWyKzDdH1VSYDrsmbf1qfYgl5hKaEuiAW8WAQeTmErDqcHjIm3C4GJKWRJv52o5uHAW10S2gOWj4o8nMsdahVxSo/s500/sq%20vlog%20official%20logo%20png%20full.png} SQ Blog - Wahana Ilmu dan Amal {facebook#https://web.facebook.com/quranhadisblog} {youtube#https://www.youtube.com/user/Zulhas1}

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.