Konsep Tuhan dalam Islam

SQ Blog - Setalah postingan admin sebelumnya sebagai pendahuluan dalam topik ini mengenai Bincang-bincang Mengenai Tuhan. Postingan berikut di bawah ini adalah kelanjutan dari bahasan tersebut. Sobat perlu admin utarakan, mungkin bahasan ini kurang relevan bagi kaum awam, iya benar adanya sebab tulisan ini admin lebih khususkan bagi kalangan akademisi. Lalu dimana urgennya, sobat dalam era modern ini, kajian mengenai Tuhan perlu dikemukakan kembali dalam menghadapi perkembangan dunia modern yang relatif materialisme, sekuler dan liberal. Mungkin disinilah salah satu maksud postingan ini.

Pembahasan kali ini, Konsep Tuhan dalam Islam, berikut uraiannya.

Tuhan dalam Perspektif Islam

Dalam al-Quran, nama Tuhan dihadirkan dengan nama Allah disamping terdapat juga nama-nama lain yang dikenal dengan istilah Asma al-Husna. Nama Allah sering dinamakan ism al-jalalah atau ism al-jam’, yaitu nama yang mencakup atau mewadahi semua nama-nama Tuhan yang lain. Dengan begitu, maka kata Allah mengacu pada Tuhan dan ke-Absolutan-Nya. Suatu zat yang maha Akbar dan Gaib yang hakikat kualitas-Nya tidak mungkin dideskripsikan oleh penalaran manusia.[1]

Senada dengan keterangan di atas, Quraish Shihab juga menegaskan bahwa kata Allah merupakan nama Tuhan yang paling populer. Kata Allah jika disebutkan, maka sudah mencakup semua nama-nama-Nya yang lain. Sedangkan, jika mengucapkan nama-Nya yang lain , misalnya al-Rahman, al-Malik, dan sebagainya, maka ia hanya menggambarkan sifat Rahmat dan sifat Kepemilikan-Nya.[2] Secara tegas, Tuhan yang Maha Esa itu sendiri yang menamai dirin-Nya Allah sebagaimana disebutkan di dalam al-Quran surah Thaha:

إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي. ﴿سورة طه: ١٤﴾

Artinya: “Sesungguhnya Aku adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku, maka sembhalah Aku.” (Q.S. Thaha [20]: 14)

Dalam ayat lain:

هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا. ﴿سورة مريم: ٦٥﴾

Artinya: “Apakah engkau mengetahui ada sesuatu yang bernama seperti itu?.” (Q.S. Maryam [19]: 65)

Kata Allah sendiri sudah dikenal jauh sebelum Islam datang di Arab. Namun Allah dalam pengertian orang Arab pra-Islam, berbeda dengan konteks Allah dalam Islam. Menurut Winnet, seperti dikutip al-Faruqi dalam “The Cultural Atlas of Islam”, Allah bagi orang Arab pra-Islam dikenal sebagai dewa yang mengairi bumi sehingga menyuburkan pertanian dan tumbuh-tumbuhan serta ternak. Sedangkan dalam Islam, Allah dikenal sebagai Tuhan yang Maha Esa, tempat berlindung segala yang ada. Tidak beranak dan tidak diperanakkan. Juga tidak ada satu apa pun yang menyerupai-Nya.[3] Keterangan ini menunjukkan kata Allah telah lama dikenal dalam masyarakat Arab dan mereka menyadari akan keberadaannya. Hal ini disebutkan dalam ayat al-Quran:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ. ﴿سورة العنكبوت: ٦١﴾

Artinya: Dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” tentu mereka akan menjawab: “Allah”. (Q.S. al-Ankabut [29]: 61)

Dalam ayat berikutnya:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ نَزَّلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُولُنَّ اللَّهُ. ﴿سورة العنكبوت: ٦٣﴾

Artinya: Dan Sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?” tentu mereka akan menjawab: “Allah”, Katakanlah: “Segala puji bagi Allah”, tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya). (Q.S. al-Ankabut [29]: 63)

Mengenai asal kata “Allah”, para ulama dan pakar bahasa telah mendiskusikan kata tersebut sekilas apakah ia memiliki akar kata atau tidak. Banyak ulama yang berpendapat bahwa kata Allah asalnya adalah ilah (اله) yang dibubuhi huruf alif dan lam menjadi Al-Ilah (الاله). Dengan demikian, Allah adalah nama khusus karena tidak dikenal bentuk jamknya. Sedangkan, kata ilah (اله) sendiri adalah nama yang bersifat umum dan dapat berbentuk jama’ (plural), yaitu menjadi Alihah (الهة). Alif dan lam yang dibubuhkan pada kata Ilah berfungsi menunjukkan bahwa kata yang dibubuhi itu merupakan suatu yang telah dikenal dan benak.[4]

Dalam perkembangan lebih jauh dengan alas an mempermudah, hamzah (ا) yang berada antara dua lam yang dibaca (i) pada kata al-Ilah (الاله) tidak dibaca lagi sehingga berbunyi Allah (الله). Sejak itulah, kata ini seakan-akan kata ini merupakan kata baru yang tidak memiliki akar kata dan juga menjadi nama khusus bagi Pencipta dan Pengatur alam raya yang wajib wujud-Nya. Menurut Ibnu Miskawaih Tuhan adalah zat yang tidak berjisim, azali, dan pencipta. Tuhan Esa dalam segala aspek. Ia tidak terbagi-bagi dan tidak mengandung kejamakan dan tidak satupun yang setara dengan-Nya, Ia ada tanpa diadakan dan ada-Nya tidak bergantung kepada yang lain sementara yang lain membutuhkan-Nya.[5]

Kata Allah memiliki kekhususan yang tidak dimiliki oleh kata lain. Ia adalah kata yang sempurna huruf-huruf dan maknanya serta memiliki kekhususan berkaitan dengan rahasianya sehingga sementara ulama menyatakan bahwa kata itulah yang dinamai Ism Allah al-Azam (nama Allah yang paling mulia). Susunan kata Allah tersebut dapat membentuk kata Lillah (لله) jika menghapus huruf awalnya dalam arti milik bagi Allah. Kemudian, hapus huruf awal dari kata Lillah (لله) itu akan terbaca Lahu (له) dalam arti bagi-Nya. Selanjutnya hapus lagi huruf awal dari Lahu (له), akan terdengar dengan ucapan Hu (ه) yang berarti Dia (menunjuk Allah) dan bila ini pun dipersingkat akan dapat terdengar kata Ah yang sepintas atau pada lahirnya mengandung makna keluhan, tetapi pad hakikatnya adalah seruan permohonan kepada Allah.[6]

Sehubungan dengan nama dan sifat-sifat Allah, Ahlusunnah wa al-Jama’ah yang dipelopori oleh Imam Abu Hasan Ali Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi berbeda tajam dengan pandangan kaum Mu’tazilah dalam permasalahan ini. Kaum Mu’tazilah mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, Tuhan mendengar dengan Zat-Nya, Tuhan melihat dengan Zat-Nya, dan Tuhan berkata dengan Zat-Nya. Mereka berargumen bahwa kalau Tuhan memiliki sifat maka itu berarti Tuhan dua, yaitu zat dan sifat.[7] Sejalan dengan pandangan ini, Ibn Arabi berkata, “Allah sebagai Zat yang Absolut dan Maha Gaib, sesungguhnya tidak memerlukan nama.”[8] Disamping itu, Ibn Arabi juga membicarakan nama-nama Tuhan sebagai sebab-sebab instrumental yang digunakan Tuhan di dalam semua aktivitas penciptaan di dunia.[9] Uraian ini akan disinggung secara luas lagi pada pembahasan berikutnya dalam, “Tuhan Menurut Filsafat Islam”. 

Mencari Tuhan dengan Bimbingan dan Petunjuk Allah

Manusia memiliki kecenderungan primordial untuk selalu mencari Tuhan dengan menelusuri jejak-jejaknya. Tuhan juga mengenalkan Diri pada manusia. Tetapi karena terdapat jarak yang jauh antara Tuhan dan manusia, maka jarak itu lalu dijembatani dengan nama-nama serta tanda-tanda yang dalam bahasa Arab juga disebut, asma, ayat, dan alam. Asma biasanya muncul dalam wacana filafat dan teologi, ayat biasa dipahami sebagai informasi dan pengenalan diri Tuhan melalui wahyu (Kitab Suci), sedangkan alam ialah tanda-tanda kekuasaan dan kehadiran Tuhan melalui ciptaan-Nya berupa alam raya. [10]

Kisah Nabi Ibrahim a.s adalah salah satu contoh yang sangat menarik yang dilukiskan al-Quran dalam masalah ini. Beliau pada mulanya layaknya sebagai seorang manusia biasa, dia juga mencari-cari Tuhannya. Dalam surah al-An’am dijelaskan:

فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَبًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَا أُحِبُّ الْآفِلِينَ . فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِنْ لَمْ يَهْدِنِي رَبِّي لَأَكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّينَ . فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَذَا رَبِّي هَذَا أَكْبَرُ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ. ﴿سورة الأنعام: ٧٦-٧٨﴾

Artinya: “Ketika malam telah gelap, Dia melihat sebuah bintang (lalu) Dia berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam Dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam. Kemudian tatkala Dia melihat bulan terbit Dia berkata: "Inilah Tuhanku". tetapi setelah bulan itu terbenam, Dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaKu, pastilah aku Termasuk orang yang sesat. Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, Dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar". Maka tatkala matahari itu terbenam, Dia berkata: "Hai kaumku, Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.” (Q.S. al-An’am [6]: 76-78)

Dari ayat di atas, apakah Nabi Ibrahim hanya sekedar bertanya dalam hati kemudian Allah memberikan petunjuk? Tentu saja tidak demikian, karena Ibrahim selalu memikirkan, maka kemudian Allah menurunkan petunjuk.[11] Sehingga keluarlah dalam hati Ibrahim seperti ayat berikut:

إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ. ﴿سورة الأنعام: ٧٩﴾

Artinya: “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah Termasuk orang-orang yang mempersekutukan tuhan.” (Q.S. al-An’am [6]: 79)

Pertanyaan selanjutnya, mengapa Allah memberikan petunjuk kepada Nabi Ibrahim, bukan kepada yang lain. Hal ini dijelaskan Allah dengan singkat:

إِذْ جَاءَ رَبَّهُ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ. ﴿سورة الصافات: ٨٤﴾

Artinya: “(lngatlah) ketika ia datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci.” (Q.S. al-An’am [6]: 79)

Jadi jawabannya, karena dia memiliki hati yang suci. Allah kemudian memberikan petunjuk dan membukakan pandangan ma’rifatullah hingga akhirnya ia kembali kepada kaumnya untuk memberinya peringatan kepada jalan yang benar.[12] Kisah nabi Ibrahim berbeda dengan kisah Nabi Adam a.s. Pada mulanya di surge, Adam a.s adalah seorang yang beriman. Oleh karena melanggar perintah Allah, maka nabi Adam a.s diturunkan dari surge ke bumi. Sebagai akibatnya, lepaslah pakaian rohani dan imannya kembali kepada Allah. Sanksi itu harus dijalani sampai 200 tahun, untuk mendapatkan kembali iman dan pakaian rohani. Terdapat perbedaan di dalam mencari Tuhan di antara keduanya. Maksud mencari Tuhan bagi nabi Adam a.s tersebut ialah mencari keridhoan-Nya kembali. Sedangkan bagi nabi Ibrahim a.s adalah mengenal Tuhan yang memang belum ia kenal sebelumnya.[13]

Pembuktian Tuhan Menurut Filsafat Islam

Mempersoalkan Tuhan dan keimanan lewat filsafat dalam dunia Islam juga banyak terjadi, walaupun dengan cara dan problema yang berlainan. Ajaran Islam yang pokok tercakup dalam dalam sebuah kata pendek saja, yaitu Tauhid. Konsepsi Tuhan menurut tauhid ialah bahwa Tuhan Maha Esa dan tak dapat dipersepsikan. Hal ini sejalan dengan firman Allah: 

لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ. ﴿سورة الأنعام: ١٠٣﴾ 

Artinya: Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui.” (Q.S. al-An’am [6]: 103) 

Semua pemikir Islam berpegang ke sana sebagai dasar. Di antara mereka adalah Al-Kindi, Ibnu Rusyd, Al-Farabi, Ibn Sina, pada abad-abad ke-10 dan ke-12, sampai kepada Abduh dan Iqbal pada Abad kita sekarang.[14] Berikut beberapa filsuf Islam yang memiliki konsep ketuhanan: 

a. Konsep Tuhan Menurut Al-Kindi

Al-Kindi berpendapat bahwa alam itu temporal dan berkomposisi, yang karenanya ia membutuhkan Pencipta yang menciptakannya. Hasil pandangan tersebut merupakan argument kosmologis Aristoteles yang dibungkus dengan istilah Arab, dalil al-Huduts atau argument kebaruan oleh Al-Kindi. Ia mengungkapkan bahwa alam semesta ini, betapa pun luasnya adalah terbatas. Karena terbatas, alam tidak mungkin tidak memiliki awal yang tidak terbatas. Oleh karena itu, tidak mungkin alam semesta bersifat azali (tak mempunyai awal). Berarti alam semesta ini baru (huduts).[15]

Bagi Al-Kindi, segala yang baru pastilah dicipta (muhdats). Karenanya, mengatakan bahwa alam itu baru adalah sama dengan mengatakan bahwa ala mini dicipta. Dengan demikian, sesuatu yang baru seperti ala mini, karena tidak bisa terbayangkan bisa muncul sendiri, memastikan adanya sebab yang memunculkannya dan itulah Tuhan. Dalam bahasa filosofis, Tuhan disebut dengan sebab pertama.[16]

b. Konsep Tuhan Menurut Ibn Rusyd

Dalam bukunya, Manahij al-Addillah, Ibn Rusy berusahan membuktikan adanya Allah Allah dengan apa yang disebut dalil Inayah. Menurut Ibn Rusyd, penciptaan yang menakjubkan dari segala yang ada di alam semesta, seperti penciptaan kehidupan organic, persepsi indrawi, dan pengenalan intelektual, merupakan bukti adanya Tuhan melalui bukti penciptaan yang menakjubkan atau keserasian. Terciptanya siang dan malam, matahari dan bulan, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan hujan, yang semuanya sesuai dengan kehidupan manusia dan makhluk-mahkluk lain yang berpijak pada prinsip keteraturan, atas dasar ilmu dan kebijaksanaan. Tatanan alam tersebut yang ditampilkan melalui harmoni yang dapat dilihat pada bagian-bagiannya dan pada benda-benda yang ada di dalamnya. Ia tidak hanya harmoni permukaan dan lahir saja tetapi juga harmoni dalam batin dan intinya. Harmoni ini bukan kebetulan, tetapi merupakan ciptaan Tuhan yang Maha Pengatur dan Bijak.[17]

c. Konsep Tuhan Menurut Al-Farabi dan Ibn Sina

Dalam masalah pembuktian adanya Allah, Al-Farabi dan Ibn Sina menempuh jalan lain. Mereka membedakan wujud dari esensi, dan menetapkan bahwa wujud sesuatu bukan merupakan bagian dari esensinya. Sebab, wujud merupakan salah satu aksidensia bagi subtansi bukan sebagai unsure pengadanya. Prinsip demikian berlaku bagi selain Yang Maha Esa, yang wujudnya tidak terpisah dari substansiny-Nya. Karena Ia adalah yang pertama dan harus ada dengan sendiri-Nya. Berdasarkan pemikiran ini. Al-Farabi dan Ibn Sina sampai pada kesimpulan bahwa kita tidak membutuhkan pembukyian yang panjang itu untuk menetapkan eksistensi Allah, dan kita cukup mengetahui Zat-Nya untuk menerima eksistensi-Nya sekaligus. Pada puncaknya, mereka berkesimpulan bahwa Allah adalah Zat yang harus ada karena diri-Nya sendiri (wajib al-wujud bi zatih) dan merupakan sebab pertama bagi segala entitas. Wujud-Nya merupakan yang paling sempurna, Maha Suci dari segala bentuk, materi, aksi, dan efisiensi.[18]

d. Konsep Tuhan Menurut Muhammad Abduh

Muhammad Abduh mempergunakan metode pembagian hukum akal, yaitu mungkin, mustahil dan wajjib. Diantara hukum-hukum yang mungkin bagi zatnya ialah bahwa ia tidak mungkin ada kecuali dengan suatu sebab. Sebagaimana yang mungkin itu memerlukan sebab dalam permulaan wujudnya. Akhirnya, Muhammad Abduh sampailah pada kesimpulan adanya Zat Yang Wajib Adanya sebagai penyebab utama dari segala zat yang masuk dalam kategori mungkin.

ENDNOTE

[1] Komaruddin Hidayat dan M. Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial (Jakarta: Paramadina, 1995), Cet. I, h. 32.
[2] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran (Jakarta: Lentera Hati, 2012), Cet. V, h. 20
[3] Komaruddin Hidayat dan M. Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial (Jakarta: Paramadina, 1995), Cet. I, h. 32.
[4] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran (Jakarta: Lentera Hati, 2012), Cet. V,  h. 21-22.
[5] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam 9 (Jakarta: Raja Grofinda Bersada, t.t, h. 129-130.
[6] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran (Jakarta: Lentera Hati, 2012), Cet. V,  h. 23-24.
[7] Sirajudddin Abbas, I’tiqad Ahlusunnah Wal Jama’ah (Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru, 2008), Cet. VIII, h. 207
[8] Komaruddin Hidayat dan M. Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial (Jakarta: Paramadina, 1995), Cet. I, h. 33.
[9] A.E. Affifi, Filsafat Mistis ibn ‘Arabi, terj. Sjahrir Mawi dan Nandi Rahman dari judul asli “A Mistical Philosopy of Muhyidin ibn ‘Arabi”. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1995), Cet. II, h. 55
[10] Komaruddin Hidayat dan M. Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat, h. 34-35.
[11] Samudra, Azhari Aziz dan Setia Budi, Hakekat Akal Jasmani dan Rohani Bagian 1 (t.tp.: Yayasan Majelis Ta’lim HDH, 2004), Cet. I, h. 38.
[12] Samudra, Azhari Aziz dan Setia Budi, Hakekat Akal Jasmani dan Rohani Bagian 1, h. 39-40.
[13] Samudra, Azhari Aziz dan Setia Budi, Hakekat Akal Jasmani dan Rohani Bagian 1 (t.tp.: Yayasan Majelis Ta’lim HDH, 2004), Cet. I, h. 44-45.
[14] Ali Audah, Dari Khasanah Dunia Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), Cet. I, h. 305.
[15] Zaprulkan, Filsafat Islam; Sebuah Kajian Tematik (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), Cet. I, h. 78-79.
[16] Zaprulkan, Filsafat Islam; Sebuah Kajian Tematik, h. 79.
[17] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, terj. Y. Wahyudi Asmin dari judul asli “Fi al-Falsafah Islamiyyah: Manhaj wa Tatbiqub al-Juz al-Sani” (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), Cet. I, h. 119
[18] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, h. 122-23.

kETUHANAN DALAM ISLAM, TUHAN, KETUHANA, TUHAN MENURUT ISLAM, FILSAFAT KETUHANAN, FILSAFAT ISLAM

Posting Komentar

[blogger][facebook]

SQ Blog

{picture#https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEimSap9ccYY8FQp44yNvjVK6lRtOVpD-gpVKKWSk__oyc8ChkbooHIuh52uDXiZGchcOoPlIazgMEjOjQ5r0b-DftM48h8gDub2yWyKzDdH1VSYDrsmbf1qfYgl5hKaEuiAW8WAQeTmErDqcHjIm3C4GJKWRJv52o5uHAW10S2gOWj4o8nMsdahVxSo/s500/sq%20vlog%20official%20logo%20png%20full.png} SQ Blog - Wahana Ilmu dan Amal {facebook#https://web.facebook.com/quranhadisblog} {youtube#https://www.youtube.com/user/Zulhas1}

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.