Perkembangan Tafsir dari Zaman Nabi hingga Kini

SQ Blog - Penafsiran al-Quran sudah berlangsung sejak zaman nabi Muhammad Saw (571-632 M) dan masih tetap berlangsung hingga sekarang, bahkan pada masa mendatang. Penafsiran al-Quran sungguh telah menghabiskan waktu yang sangat panjang dan melahirkan sejarah tersendiri nagi pertumbuhan dan perkembangannya. Berikut beberapa uraian dari masing-masing periode mengenai pertumbuhan dan perkembangan al-Quran dari masa ke masa.

PERIODE NABI MUHAMMAD SAW

Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab sehingga mayoritas orang Arab mengerti makna dari ayat-ayat al-Qur’an. Akan tetapi tidak semua sahabat mengetahui makna yang terkandung dalam al-Qur’an, antara satu dengan yang lainnya sangat variatif dalam memahami isi dan kandungan al-Qur’an. Jika terdapat kejanggalan yang mereka tidak dapat pahami, mereka langsung menayakannya kepada nabi Muhammad Saw. Demikianlah tradisi tafsir ketika itu, sama sekali tidak ada masalah yang besar karena semua permasalahan bisa langsung ditanyakan kepada Rasulullah Saw.[1]

Pada masa itu tak seorang pun dari para sahabat beliau yang berani menafsirkan al-Quran karena beliau masih berada di tengah-tengah mereka. Beliau sendirilah yang memikul beban untuk memberikan penjelasan mengenai ayat-ayat al-Quran sebagaimana mestinya.[2] Firman Allah SWT menegaskan hal ini: 

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ ﴿سورة النحل: ٤٤﴾ 

Artinya: “Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (Q.S. Al-Nahl [16]: 44)

Contoh keterangan nabi terhadap al-Quran seperti di dalam menjelaskan maksud surah al-Anfal ayat 60:

عَنْ أَبِى عَلِىٍّ ثُمَامَةَ بْنِ شُفَىٍّ أَنَّهُ سَمِعَ عُقْبَةَ بْنَ عَامِرٍ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ يَقُولُ « وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ أَلاَ إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْىُ أَلاَ إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْىُ أَلاَ إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْىُ » ﴿رواه مسلم﴾ 

Artinya: “Diriwayatkan imam Muslim dari Uqbah bin ‘Amir berkata, “Saya mendengar Rasulullah berkhutbah diatas mimbar membaca firman Allah, ‘ketahuilah bahwa kekuatan itu pada memanah’. Kemudian Rasulullah bersabda, ‘Ketahuilah bahwa kekuatan itu pada memanah’.”[3] (H.R. Muslim)

PERIODE MUTAQADDIMIN

Periode mutaqaddimin sekitar awal abad pertama sampai abad keempat hijriah (abad 1-4 H). Periode ini meliputi masa sahabat, tabi’in, dan tibi’i tabi’in. Sepeninggal Nabi Muhammad Saw (11 H/632 M) selaku mufassir pertama dan tunggal pada zamannya, penafsiran al-Quran dilakukan oleh para sahabat. Dari kalangan sahabat, setidak-tidaknya tercatat sekitar sepuluh orang mufassir yang sangat terkenal, yaitu: Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, dan Abdullah bin Zubair. Namun yang paling banyak menafsirkan dari mereka adalah Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Abbas.[4]

Sumber tafsir pada masa sahabat ialah, al-Quran, Hadis, Ijtihad, dan informasi dari ahli al-Kitab.[5] Beberapa ciri tafsir sahabat ialah; penfasiran hanya sebagian dari ayat al-Quran, melalui pendekatan kosakata secara global, dan penfasiran dilakukan dengan menguraikan Hadis karena tafsir ketika itu adalah bagian dari Hadis.[6]

Setelah para sahabat, penafsiran selanjutnya dilakukan oleh generasi tabi’in. Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak jauh berbeda dengan masa sahabat karena para tabi’in mengambil tafsir dari mereka. Berbeda dengan sahabat yang secara umum bermukim di Madinah. Dalam periode ini muncul beberapa madrasah kajian tafsir di beberapa wilayah,[7] yaitu:
  1. Madrasah tafsir di Mekah, pendiri madrasah ini ialah Abdullah bin Abbas. Para mufassirnya yang terkenal ialah Said bin Jubair, Mujahid, Ikrimah, Atha bi Abi Rabah, Thawus bin Kisan, dll.
  2. Madrash tafsir di Madinah, pendirinya adalah Ubay bin Ka’ab. Para mufassirnya yang terkenal ialah Zaid bin Aslam, Abu Aliyah, Muhammad bin Ka’ab, dll.
  3. Madrasah tafsir di Madinah, pendirinya adalah Abdullah bin Mas’ud. Para mufassirnya yang terkenal ialah Alqamah bi Qais, Masruq, Murrah al-Hamdani, Hasan Basri, Qatadah, dll.
Sumber tafsir pada masa tabi’in ialah al-Quran, Hadis, tafsir para sahabat, informasi dari ahli al-Kitab, dan ijtihad. Mayoritas ahli tafsir mengatakan bahwa tafsir tabi’in bisa di ambil karena tabi’in mengambil sebagian besar tafsirnya dari para sahabat. Adapun menurut Syu’bah dan Ibnu Aqil menyebutkan bahwa tafsir tabi’in tidak bisa dijadikan rujukan karena mereka tidak menyaksikan turunnya al-Quran secara langsung sebagaimana yang dialami oleh para sahabat.[8]

Tafsir pada masa tabi’in memiliki beberapa ciri, yaitu tafsir tetap konsisten dalam penerimaan dan periwayatan, tafsir mengandung banyak kisah israiliyyat, dan tafsir pada masa tersebut telah menunjukan benih-benih perbedaan mazhab. Kemudian, tradisi tafsir ini diwarisi oleh generasi selanjutnya, yaitu tabi’i tabi’in yang oleh Mustafa al-Maragi disebut sebagai periode penghimpunan tafsir sahabat dan tabi’in.[9]

Para mufassir yang terkenal pada masa tabi’i tabi’in di antaranya, Syu’bah bin Hajjaj, Waki’ bin Jarrah, Sufyan bin Uyainah, Ishaq Al-Naisaburi, Yazid bin Harun al-Sulami, Abdullah bin Hamid al-Juhni. Ciri tafsir pada masa ini tidak jauh berbeda dengan generasi sebelumnya, hanya saja telah mengarah pada penghimpunan tafsir secara khusus. Secara umum, periode mutaqaddimin yang terdiri dari masa sahabat, tabi’in, dan tabi’i tabi’in disebut fase periwayatan dengan lisan. Fase ini tafsir masih menjadi sub bab dari hadis seperti pada masa sahabat.

PERIODE MUTA'AKHHIRIN

Pada periode ini, pengkodifikasian atau pembukuan tafsir mulai dilakukan. Periode ini ditandai dengan maraknya penulisan tafsir secara khusus dan independen serta menjadikannya sebagai ilmu yang berdiri sendiri dan terpisah dari Hadis. Secara umum, perkembangan tafsir pada periode ini melalui 3 tahap:
  1. Tahap pertama, pemisahan tafsir dari kitab Hadis menjadi disiplin ilmu tersendiri. Beberapa mufassir yang berjasa pada masa ini ialah Ibnu Majah, Ibnu Jarir al-Thabari, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Hibban, Al-Hakim, dll.[10]
  2. Tahap kedua, tafsir mulai masuk pada fase yang sama sekali berbeda sebelumnya, yaitu meringkas isnadnya atau bahkan menghapusnya. Inilah awal mula masuknya pemalsuan dalam tafsir dan kisah-kisah israiliyyat. Diantara mufassir yang melakukan penghapusan sanad dalam tafsirnya ialah Abu Ishaq al-Zujaj, Abu Bakar Muhammad bin Hasan, dll.[11]
  3. Tahap ketiga, tafsir mulai mengalami perkembangan yang sangat signifikan, khsususnya mengenai metodenya. Fase ini diwarnai dengan penulisan tafsir yang bercampur di dalamnya antara tafsri bi al-matsur dan tafsir bi al-ra’yi. Selain itu, tafsir mulai bermunculan dengan beragam corak masing-masing seperti, corak tasawuf, isyari, fiqih, filsafat, kalam, dan lain-lain.[12] Pemicu munculnya metode baru, yaitu tafsir bi al-ra’yi dalam fase ini dan ragam corak tafsir ialah semakin majunya ilmu keislaman seiring semakin luasnya daerah kekuasaan Islam yang juga diwarnai kemunculan ragam disiplin ilmu.
Pada tahap ketiga ini, muncullah beragam metode tafsir yang berbeda-beda. Di antaranya, Mafatih al-Ghaib karya Fakhr al-Razi, Tafsir al-Quran al-Azhim karya Al-Tusturi, Ahkam al-Quran karya Al-Arabi, Tafsir Kabir karya Fakhr al-Razi, dll.

PERIODE KONTEMPORER

Periode ini dimulai dari akhir abad ke-19 hingga kini. Tafsir masa ini dipelopori oleh para tokoh dan pejuang muslim yang berupaya untuk melakukan perbaikan dalam dunia Islam. Tafsir yang pertama kali muncul pada periode ini ialah tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha di Mesir. Tafsir ini menginspirasi beberapa tafsir setelahnya, yaitu tafsir Maraghi karya Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir Mahasin al-Ta’wi karya Al-Qasimi, dan Tafsir Al-Jawahir karya Thanthawi Jauhari.[13]

Gerakan pembaharuan Islam yang bermula di Mesir tersebut, turut mempengaruhi daerah-daerah lainnya termasuk di Indonesia. Di antara tafsir-tafsir di Indonesia ialah Tafsir al-Azhar karya Hamka Tafsir Al-Nur dan Tafsir al-Bayan karya Hasbi Al-Shiddiq, Tafsir Quran Karim karya Mahmud Yunus, tafsir Al-Misbah karya Qurais Shihab, dll. Pada masa ini pula, melahirkan metode dan corak yang baru dalam bidang tafsir. Di antara metode yang dapat dikemukakan ialah metode maudhu’i (tematis), metode muqarin. Adapun coraknya ialah tafsir corak al-adabi al-ijtima’i.

Demikian uraian dari masing-masing periode pertumbuhan dan perkembangan al-Quran dari masa ke masa. Uraian tersebut memperlihatkan jalinan kesinambungan yang tidak pernah putus sekalipun dalam rentang daerah yang sangat berjauhan. Jadi, diberbagai daerah Islam atau Negara yang berpenduduk muslim termasuk Indonesia, kegiatan penafsiran al-Quran merupakan kunci pembuka bagi kecermelangan umat.

Uraian beberapa bahasan pada poin ini, seperti metode penafsiran termasuk corak tafsir akan disinggung lebih jauh lagi pada bahasan berikutnya,  Insya Allah.

Oleh Hasrul

ENDNOTE

[1] Al-Suyuti, Al-Itqan fi Ulum al-Quran (Beirut: Darr al-Fikr, tt), Juz 2, hal 183
[2] Subhi al-Shalih, Mabahis fi Ulum al-Quran terj. Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), Cet. XI, hal. 411
[3] Muslim, Shahih Muslim (Beirut: Darr al-Jil, tt), Juz VI, hal. 52
[4] Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi (Kairo: Darr al-Nasr, tt), Juz I, hal. 6
[5] Husein al-Zahabi, Al-Tafsir wa al-Mafassirun terj. Nabbani Idris (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hal. 27
[6] Manna Khalil al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Quran terj. Mudzakir (Jakarta: Litera AntarNusa, 2011), Cet. XIV, hal. 473
[7] Shiddiq bin Hasan, Fath al-Bayan (Beirut: Al-Maktabah Al-Ashriyah, 1992 M/ 1412  H), Juz 1, hal. 13-14
[8] Husein al-Zahabi, Al-Tafsir wa al-Mafassirun terj. Nabbani Idris (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hal. 122-123
[9] Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi (Kairo: Darr al-Nasr, tt), Juz I, hal. 8-9
[10] Husein al-Zahabi, Al-Tafsir wa al-Mafassirun hal. 136
[11] Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi, hal. 10
[12] Thabathaba’i, Al-Mi’zan fi Tafsir al-Quran (Qum: Ruh al-Amin, 1430 H), Cet. I, hal. 6-7
[13] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir (Bandung: Tafakur, 2009), Cet. II, hal. 25-26

Perkembangan tafsir, pertumbuhan tafsir, sejarah tafsir, tafsir zaman nabi, tafsir zaman mutaqaddimin, tafsir zaman mutaakhirin

Labels:

Posting Komentar

[blogger][facebook]

SQ Blog

{picture#https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEimSap9ccYY8FQp44yNvjVK6lRtOVpD-gpVKKWSk__oyc8ChkbooHIuh52uDXiZGchcOoPlIazgMEjOjQ5r0b-DftM48h8gDub2yWyKzDdH1VSYDrsmbf1qfYgl5hKaEuiAW8WAQeTmErDqcHjIm3C4GJKWRJv52o5uHAW10S2gOWj4o8nMsdahVxSo/s500/sq%20vlog%20official%20logo%20png%20full.png} SQ Blog - Wahana Ilmu dan Amal {facebook#https://web.facebook.com/quranhadisblog} {youtube#https://www.youtube.com/user/Zulhas1}

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.