Sains dan Ruang Lingkupnya

SQ Blog - kali ini admin ingin berbagi sekilas mengenai informasi sains dan ruang lingkupnya, khususnya dalam perspektif Islam. Tulisan ini akan berusaha menunjukkan karakter kajian ilmiah atau yang sering dikenal, ilmu sains menurut ajaran islam. Ini menurut admin, perlu diketengahkan agar pemaknaan terhadap sains berada pada jalan yang tepat sehingga penerapannya pun dapat digunakakn pada jalan yang bijak juga. Let's gooo....

Apa itu sains???

Sobat, sains (science) menurut Webster’s New World Dictionary berasal dari kata Latin, scire yang artinya mengetahui. Dalam hal ini tidak berbeda dengan knowledge (pengetahuan).[1] Secara terminologi, sains adalah suatu eksplorasi ke alam materi berdasarkan observasi dan mencari hubungan-hubungan alamiah yang teratur mengenai fenomena yang diamati serta bersifat mampu meguji diri sendiri.[2] Pengertian lain sebagaimana diposting Journal of Theoretic (JoT) menyebutkan bahwa sains adalah bidang kajian yang berusaha untuk mengambarkan dan memahami alam semesta, baik secara keseluruhan maupun bagian-bagian dari alam. Kajian fisika, biologi, arkeologi, dan sejenisnya menurut JoT merupakan bagian yang tercakup dalam definisi tersebut.[3]

Sains bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, sains terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Dalam Islam sebagaimana termaktub dalam al-Quran banyak perintah untuk memperhatikan alam dan hanya diresapi manfaatnya oleh orang-orang yang memikirkannya. Misalanya firman Allah mengenai keutamaan madu di dalam surah al-Nahl:

ثُمَّ كُلِي مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ فَاسْلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلًا يَخْرُجُ مِنْ بُطُونِهَا شَرَابٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ فِيهِ شِفَاءٌ لِلنَّاسِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ ﴿سورة النحل: ٦٩﴾

Artinya: “Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi orang-orang yang memikirkan.” (Q.S. al-Nahl [16]: 69)

Al-Quran ketika mengarahkan pandangan kepada fenomena alam pada hakikatnya bermaksud mengasah akal manusia untuk memikirkannya agar sampai pada kesimpulan tentang wujud Pencipta. Disamping menyadari pula adanya kaitan antara Sang Pencipta dengan sistem yang berlaku terhadap fenomena itu. Dia Yang Mahakuasa itulah yang menguasai secara amat teliti dan konsisten fenomena tersebut. Jika akal telah mencapai nati>jah (nilai) ini, maka diharapkan kalbu akan khusyu, tunduk dan kagum kepada-Nya. Itu sebabnya ayat-ayat tersebut sering kali dimulai dengan semacam kalimat awalam yatafakkaru>, atau ditutup dengan semacam kalimat afala ta’qilun, afala tubsirun. Dengan menggunakan akal, manusia akan berusaha memahami fenomena itu lalu memanfaatkannya untuk kemaslahatan duniawi dan ukhrawinya.[4]

Lalu apa ruang lingkup sains???

Sobat, sebenarnya objek ilmu dibagi dalam dua bagian pokok, yaitu alam materi dan alam non-materi. Adapun sains membatasi ruang jelajahnya hanya pada alam materi atau semua bentuk pengalaman manusia. Artinya, objek penelaan sains meliputi segenap gejala yang dapat ditangkap oleh pengalaman manusia lewat pancaindra.[5] Dengan demikian, segala sesuatu yang ada di alam sekitar menjadi ranah kajian ini. Al-Quran menyebutkan dengan istilah “فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ” sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut: 

سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ ﴿سورة فصلت: ٥٣﴾ 

Artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (Q.S. al-Fushshilat [41]: 53) 

Wujud kongkrit dalam memandang objek sains adalah adanya kenyakinan tentang penciptaan, ketundukan, karakteristik dan keteraturan benda-benda tersebut kepada Allah. Dalam konteks ini, para scientist (ilmuwan) harus membedakan antara penciptaan dengan rekayasa. Menciptakan adalah mengadakan sesuatu dari tidak ada, sedangkan merekayasa adalah mengubah suatu bentuk menjadi bentuk yang lain, atau menggabungkan dua atau beberapa jenis benda menjadi jenis lain yang berbeda dengan keadaan sebelumnya. Para ilmuwan bisa merekayasa tetapi mereka tidak bisa menciptakan, sehingga mereka menyadari kelemahannya. Dengan konsep ini, sains tumbuh di atas landasan kesadaran ketuhanan, sehingga terdapat keterpaduan antar sains dengan agama. Dengan adanya kesadaran ketuhanan tersebut menyebabkan kegiatan sains yang bersifat profan (bersifat kedunian) menjadi aktivitas yang bernuansa religius.[6]

Segala bentuk upaya dalam mengkaji alam raya hendaknya menjadi bahan renungan melalui ciptaan-Nya untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Hal ini dilandasi bahwa ketika al-Quran berbicara tentang alam raya dan fenomenanya, terlihat jelas bahwa pembicaraan selalu dikaitkan dengan kebesaran dan kekuasaan Allah SWT. Sains dan hasilnya harus selalu mengingatkan manusia terhadap Kehadiran dan Kemahakuasaan Allah SWT. Ada sekitar 750-1000 ayat kauniyyah, sementara ayat-ayat hukum hanya sekitar 250 ayat. Lalu mengapa kita hanya mewarisi puluhan ribu buku-buku fiqih sementara buku-buku ilmiah jumlahnya tidak banyak. Padahal Tuhan tidak pernah membedakan perintahnya untuk memahami ayat-ayat al-Quran.[7]

Ini merupakan titik balik untuk membangun kembali peradaban Islam yang sirna. Perhatian selama ini terhadap ayat-ayat hukum lebih besar dibandingkan perhatian terhadap ayat-ayat kauniyah yang justru jumlahnya melebihi ayat-ayat hukum. Akibatnya, masih banyak ayat-ayat kauniyyah yang sampai saat ini belum pernah dikaji secara berarti.[8] Menurut Muhammad al-Ghazali, umat Islam mengalami keterpurukan karena mengalami krisis berpikir, bukan krisis metode dan nilai. Al-Quran memang berada di tangan mereka seperti keberadaanya di tangan para sahabat. Teks-teksnya tetap terpelihara utuh. Tetapi, masalahnya terletak pada bagaimana memahami al-Quran dan berdialog dengannya.[9] Saat ini pun umat Islam justru berpaling dari nilai-nilai al-Quran, sebaliknya orang-orang non-Muslim mulai semarak mengkajinya walaupun sebatas menguji kebenarannya tanpa menyakini kemukjizatannya. Keterangan di atas dapat dipahami bahwa ketertinggalan Islam diakibatkan karena mereka jauh dari nilai-nilai ajarannya, yaitu al-Quran dan Hadis. 

Padahal, al-Quran dan Hadis adalah sumber metode dan nilai yang luhur, tetapi mereka tidak mengkajinya seiring perkembangan zaman. Perhatiannya terhadap ayat-ayat kauniyyah telang hilang, kalaupun ada hanya sebatas menjastifikasi ayat al-Quran dengan temuan sains barat. Namun, beberapa tahun terakhir telah nampak lagi kesadaran untuk memahami alam raya guna memanfaatkannya. Hal ini dapat dilihat dengan berkembangnya beberapa corak penafsiran untuk memahami kandungan ayat-ayat kauniyyah, di antaranya corak penafsiran ilmi.


ENDNOTE


[1] U. Maman, Pola berpikir sains; Membangkitkan Kembali Tradisi Keilmuan Islam (Bogor, QMM Pusblishing 2012), hal. 95
[2] Agus Purwanto, Nalar Ayat-ayat Semesta; Menjadikan al-Quran sebagai Basis Kontruksi Ilmu Pengetahuan (Bandung: Mizan, 2012), Cet. I, hal. 144
[3] Journal of Theoretic (JoT), Science, Vol. 1-3 Aug/Sept 1999 dikutip oleh U. Maman, Pola berpikir sains; Membangkitkan Kembali Tradisi Keilmuan Islam (Bogor, QMM Pusblishing 2012), hal. 95
[4] Quraish Shihab, Membumikan al-Quran; Memfungsikan wahyu dalam Kehidupan (Jakarta: Lentera Hati, 2011), Cet. I, Jilid II, hal. 624-625
[5] U. Maman, Pola berpikir sains; Membangkitkan Kembali Tradisi Keilmuan Islam (Bogor, QMM Pusblishing 2012), hal. 94
[6] U. Maman, Pola berpikir sains; Membangkitkan Kembali Tradisi Keilmuan Islam (Bogor, QMM Pusblishing 2012), hal. 134-136
[7] Kementerian Agama RI oleh Badan Litbang dan Diklat, Tafsir Ilmi; Tumbuhan dalam Perspektif al-Quran Dan Sains (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Quran, 2012), hal. xxiv
[8] Agus Purwanto, Nalar Ayat-ayat Semesta; Menjadikan al-Quran sebagai Basis Kontruksi Ilmu Pengetahuan (Bandung: Mizan, 2012), Cet. I, hal. 164
[9] Muhammad Al-Ghazali, Al-Quran Kitab Zaman Kita; Mengaplikasikan Pesan Kitab Suci dalam Konteks Masa Kini terj. Msykur Hakim dan Ubaidillah dari judul asli “Kayfa Nata’amal ma al-Quran” (Bandung: Mizan, 2008), Cet. I, hal. 231

sains, sains dan ruang lingkupnya, sains dalam pandangan alquran, alquran dan sains

Labels:

Posting Komentar

[blogger][facebook]

SQ Blog

{picture#https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEimSap9ccYY8FQp44yNvjVK6lRtOVpD-gpVKKWSk__oyc8ChkbooHIuh52uDXiZGchcOoPlIazgMEjOjQ5r0b-DftM48h8gDub2yWyKzDdH1VSYDrsmbf1qfYgl5hKaEuiAW8WAQeTmErDqcHjIm3C4GJKWRJv52o5uHAW10S2gOWj4o8nMsdahVxSo/s500/sq%20vlog%20official%20logo%20png%20full.png} SQ Blog - Wahana Ilmu dan Amal {facebook#https://web.facebook.com/quranhadisblog} {youtube#https://www.youtube.com/user/Zulhas1}

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.