Perkembangan Ilmu Hadis Paska Kodifikasi

SQ Blog - Khalifah Umar ibn Abdul Aziz (w. 101 H) merupakan aktor penting dalam sejarah kodifikasi hadits. Beliaulah orang yang pertama kali menyerukan secara resmi kepada semua ulama untuk mengumpulkan hadits-hadits yang masih terpencar dan mencatatnya dalam sebuah buku.

Salah satu ulama yang beliau minta untuk melakukan hal itu adalah Ibnu Syihab al-Zuhri (w. 125 H.) Kemudian setelah era al-Zuhri, gerakan kodifikasi terus mengalami perkembangan, sampai akhirnya mencapai masa keemasan pada abad ketiga Hijriyah.

Ilmu Hadîts Riwâyah Paska Kodifikasi

Perlu diketahui bahwa dalam melakukan kodifikasi hadis, para ulama tidaklah menempuh satu metode saja. Hal itu dapat kita ketahui melalui hasil-hasil karya mereka yang beragam selama kurun waktu paska kodifikasi tersebut.

Masa awal kodifikasi banyak dari mereka yang menggunakan metode mushannafât, kemudian setelah itu muncul penulisan dengan metode masânid, lalu jawâmi' dan sunan, hingga abad keempat hijriyah muncul metode mustadrakât dan ma'âjim. 


Berikut ini adalah beberapa karya besar para ulama paska kodifikasi, dari sejak awal masa kodifikasi, sampai pada abad keempat Hijriyah.

Karya-karya ulama pada abad kedua Hijriyah:
  1. al-Sunan, karya Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij (150 H), 
  2. al-Sunan, karya Muhammad bin Ishaq bin Yasar (151 H),
  3. al-Jami', karya Ma'mar bin Rasyid (153 H),
  4. al-Muwatha', karya Ibnu Abi Dzi'b (156 H),
  5. al-Sunan, Ibnu Abi Arubah (157 H),
  6. al-Muwatha', karya Malik bin Anas (179 H), dan
  7. al-Zuhd, karya Abdullah ibnul Mubarak (181 H). 
Dan masih banyak lagi, baik karya-karya yang sampai kepada kita atau pun yang tidak. Karya-karya ulama pada abad ketiga Hijriyah: 
  1. Musnad Abu Dawud al-Thayalisi (204 H),
  2. Mushannaf Abdurrazaq,
  3. Karya Abdurrazaq ibn Hammam (211 H),
  4. Musnad al-Humaidi (219 H),
  5. al-Sunan karya Sa'id ibn Manshur (227 H),
  6. Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (235 H),
  7. Kutubut tis'ah minus al-Muwatha' Malik,
  8. Musnad Ishaq bin Rahuyah (238 H), dan yang lainnya. 
Adapun karya-karya Ulama abad keempat Hijriyah ialah: 
  1. Shahih Ibnu Hibban (354 H),
  2. Ma'ajim, al-Shaghir,
  3. al-Wasth dan al-Kabir, semuanya karya al-Thabrani (360 H),
  4. Sunan ad-Daruquthni (385 H),
  5. Mustadrak al-Hakim (405 H), dan yang lainnya. 

Ilmu Hadîts Dirâyah Paska Kodifikasi 

Ilmu hadîts dirâyah pada masa paska kodifikasi ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, seiring dengan berkembangnya ilmu hadîts riwâyah. Pada awal masa kodifikasi, ilmu ini diperkenalkan oleh para ulama secara tercampur dalam karya-karya mereka yang mempunyai kosentrasi lain, seperti ilmu riwâyah dan disiplin ilmu lainnya.

Hal itu seperti yang dilakukan oleh Imam asy-Syafi'i dalam kitabnya ar-Risalah, kemudian Imam Muslim dalam Muqaddimah shahih-nya, dan juga Imam at-Tirmidzi dalam kitab ilal-nya. 

Pada perkembangan selanjutnya, masing-masing disiplin ilmu telah terpisah dan mandiri dari disiplin-disiplin ilmu lainnya. Peristiwa ini terjadi pada abad ke-4 Hijriah. Ilmu Hadis telah menjadi suatu disiplin ilmu yang mapan. Perkembangan ini terjadi akibat semakin marak lahirnya disiplin-disiplin ilmu baru dan persinggungan budaya dengan bangsa lain yang kian mendorong upaya pembukuan masing-masing disiplin ilmu itu sendiri. 

Dalam disiplin ilmu Hadis, perkembangan ini ditandai dengan lahirnya karya al-Qadli Abu Muhammad bin al-Hasan bin Abd al-Rahman bin Khalan bin al-Ramahurmuzi (w. 360 H), Al-Muhaddis al-Fashil baina al-Rawi wa al-Wa’i yang memuat beberapa cabang penting dari ilmu Hadis.

Namun upayanya itu belum maksimal, karena masih banyak cabang penting lainnya dalam ilmu Hadis yang belum diapresiasi dalam karya itu. Meski demikian, al-Ramahurmuzi diakui sebagai orang pertama yang menyusun kitab ilmu Hadis dengan ketercakupan pembahasan yang cukup memadai. Dan karyanya itu memang sebuah terobosan baru dalam dunia ilmu Hadis dan paling menonjol di antara karya-karya yang ada pada masanya. Kemudian setelah itu, satu persatu ulama mulai melakukan kodifikasi secara terpisah terhadap ilmu hadîts dirâyah. 

Pola kajian Hadis yang ada mulai al-Ramahurzi sampai al-Miyanzi tampaknya tak jauh berbeda dengan perkembangan yang terjadi pada masa-masa awal. Dalam bahasa yang sederhana dapat digambarkan bahwa grafiknya masih datar, tidak ada peningkatan juga tidak terjadi penurunan. Sorotan kajiannya masih berkutat pada bagaimana memahami suatu Hadis, memilah mana Hadis yang shahih dan mana yang saqim (bermasalah), dan mulai ada sedikit perbincangan mengenai al-munkar al-sunnah (penolakan hadis). 

Perkembangan kajian ilmu Hadis mencapai puncaknya ketika Abu Amr Usman bin Abd al-Rahman al-Syahrazuri. Nama yang terakhir disebut ini lebih populer dengan nama Ibnu Shalah (w. 643 H) yang menulis karya ilmiah sangat monumental dan fenomenal, berjudul Ulum al-Hadis yang kemudian kondang dengan sebutan Muqaddimah Ibn al-Shalah.

Kitab ini merupakan upaya yang sangat maksimal dalam melengkapi kelemahan di sana-sini karya-karya sebelumnya, seperti karya-karya al-Khatib dan ulama lainnya. Dalam kitabnya itu, ia menyebutkan secara lengkap 65 cabang ilmu Hadis dan menuangkan segala sesuatunya dengan detail. Mungkin ini pula yang menyebabkan kitab ini tidak cukup sistematis sesuai dengan judul babnya. 

Secara metodologis juga materi pembahasan, karya-karya yang muncul belakangan tidak bisa melepaskan diri untuk selalu mengacu pada kitab ini. Popularitas kitab ini disebabkan karena ketercakupan bahasannya yang mampu mengapresiasi semua pembahasan ilmu Hadis. 

Bahkan keunggulan kitab ini telah menarik para ulama, khususnya yang datang sesudahnya, untuk memberikan komentar kitab tersebut. Tidak kurang dari 33 kitab telah membahas kitab Ibnu al-Shalah itu, baik berupa ikhtishar (ringkasan), syarh (ulasan), nazhm (puisi, syair), dan mu’radhah (perbandingan) . 

Dalam bentuk ulasan (syarh), muncul beberapa kitab yang sangat detail memberikan ulasannya. Misalnya Al-Taqyid wa al-Idhah lima Athlaqa wa Aghlaqa min Kitab Ibn al-Shalah karya al-Iraqi (w. 608 H), Al-Ifshah an Nuqat Ibn al-Shalah karya al-Asqalani (w. 852 H), dan karya al-Badar al-Zarkasyi (w. 794 H) yang belum diketahui judulnya.

Sedang dalam bentuk ringkasan (ikhtisar), antara lain memunculkan kitab Mahasin al-Ishthilah wa Tadlmin Kitab Ibn al-Shalah karya al-Bulqini. Kitab ini meski berupa ringkasan, namun banyak memberikan ulasan penting, catatan, dan beberapa penjelasan tambahan. 

Masih dalam bentuk ringkasan, muncul kitab Al-Irsyad yang kemudian diringkas lagi oleh penulisnya sendiri, Imam al-Nawawi (w. 676 H), dengan judul Al-Taqrib wa al-Taisir li Ma’rifat Sunan al-Basyir wa al-Nadzir. Anehnya, kitab yang merupakan ringkasan dari kitab-kitab sebelumnya, kemudian diberikan syarh oleh al-Suyuti (w. 911 H) dalam kitab yang diberinya judul Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi. Al-Suyuti juga menulis kitab Al-Tadznib fi al-Zaid ala al-Taqrib yang menambal di sana-sini kekurangan kitab al-Nawawi. 

Ringkasan terhadap karya Ibn al-Shalah terus saja dilakukan para ahli Hadis. Badr al-Din Muhammad bin Ibrahim bin Jama’ah al-Kannani (w. 733 H), misalnya, menulis kitab Al-Minhal al-Rawi fi al-Hadis al-Nabawi, yang kemudian diberikan syarh oleh Izz al-Din Muhammad bin Abi Bakar bin Jama’ah dengan judul Al-Manhaj al-Sawi fi Syarh al-Minhal al-Rawi. Abu al-Fida’ Imad al-Din Ismail bin Katsir (w. 774 H) juga tidak ketinggalan. Ia menulis ikhtisar terhadap karya Ibn al-Shalah itu ke dalam satu kitab yang diberinya judul Al-Ba’is al-Hasis. Upaya serupa juga dilakukan oleh Ala’ al-Din al-Mardini, Baha’ al-Din al-Andalusi, dan beberapa ualama lainnya. 

Selain dalam bentuk syarh dan ikhtisar, karya Ibn al-Shalah ini juga mendorong para ulama untuk menuliskan bait-bait syair yang berisi kaidah-kaidah pokok ilmu Hadis sesuai yang tercantum dalam kitab Muqaddimah Ibn al-Shalah. Upaya ini dikenal dengan nama nazham yang untuk pertama kalinya dilakukan oleh al-Zain al-Iraqi Abd al-Rahim bin al-Husain (806 H). Bahkan ia menulis hingga seribu-an (alfiyah) bait-bait itu dalam Nazhm al-Durar fi Ilm al-Atsar yang lebih mashur dengan julukan Alfiyah al-Iraqi. 

Entah mengapa al-Iraqi kemudian juga memberikan syarh terhadap bait-baitnya sendiri. Ada dua syarh yang ditulis oleh al-Iraqi. Syarh yang ringkas dan yang panjang lebar. Syarh yang ringkas diberinya judul Fath al-Mughis bi Syarh Alfiyah al-Hadis, sedang yang panjang belum diketahui judulnya. Di samping itu, bait-bait yang diciptakan al-Iraqi itu juga memacu para ulama untuk memberikan syarh terhadap syair gubahan al-Iraqi itu.

Ada banyak ahli Hadis yang menulis sebuah karya khusus mengomentari bait-bait itu, seakan tak henti-hentinya menguras energi ide para ulama. Di antara sekian banyak karya itu, karya al-Sakhawi yang diberi judul sama dengan syarh yang ditulis al-Iraqi, Fath al-Mughis fi Syarh Alfiyah al-Hadis, merupakan karya yang paling cukup dikenal. 

Mungkin melihat popularitas Alfiyah al-Iraqi yang sedimikian hebat, al-Suyuti ulama yang dikenal rival ilmiah al-Sakhawi lalu menulis kitab alfiyah tentang ilmu Hadis yang berisi beberapa tambahan penjelasan penting terhadap materi dalam Alfiyah al-Iraqi. Al-Suyuti juga memberikan syarh sendiri terhadap bait-bait yang dibuatnya itu. Namun, syarh yang diberinya judul Al-Bahr al-Ladzi Zakhar fi Syarh Alfiyah al-Atsar, tak selesai ia rampungan secara keseluruhan. Belakangan hari, karya itu dilengkapi oleh ulama Indonesia asli, Syekh Mahfuz al-Tirmasi. Ulama kelahiran Tremas, dekat Ngawi, menulis sebuah syarh yang berjudul Manhaj Dzawi al-Nadhar fi Syarh Mandhumat Ilm al-Atsar, yang hingga kini masih dijadikan rujukan di beberapa perguruan tinggi di Timur Tengah. 

Pendeknya, karya-karya yang mengapresiasi Muqaddimah Ibn al-Shalah itu tak pernah berhenti mengalir dari pena-pena ulama-ulama ahli Hadis. Memang Muqaddimah Ibn al-Shalah mempunyai pesona yang luar biasa, sehingga tidak mungkin semua karya itu dapat dituliskan di sini satu persatu. Pendeknya, energi karya-karya yang ditulis dalam ilmu Hadis selalu merupakan apresiasi atas karya Ibn al-Shalah itu. Memang gaung Muqaddimah Ibn al-Shalah begitu luar biasa dahsatnya.

Disusun Oleh: Akbar Ramadhan, H. Cecep Muhtadin dan Fuad Hakim

Perkembangan Ilmu Hadis Paska Kodifikasi, sejarah perkembangan ulumul hadis

Labels:

Posting Komentar

[blogger][facebook]

SQ Blog

{picture#https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEimSap9ccYY8FQp44yNvjVK6lRtOVpD-gpVKKWSk__oyc8ChkbooHIuh52uDXiZGchcOoPlIazgMEjOjQ5r0b-DftM48h8gDub2yWyKzDdH1VSYDrsmbf1qfYgl5hKaEuiAW8WAQeTmErDqcHjIm3C4GJKWRJv52o5uHAW10S2gOWj4o8nMsdahVxSo/s500/sq%20vlog%20official%20logo%20png%20full.png} SQ Blog - Wahana Ilmu dan Amal {facebook#https://web.facebook.com/quranhadisblog} {youtube#https://www.youtube.com/user/Zulhas1}

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.